Pekan-pekan ke depan, kita akan dihiasi dengan lowongan CPNS (Calon
Pegawai Negeri Sipil) yang bertebaran. Ada dari Kementrian Keuangan,
Kementrian Sosial, BPS, Pemda Provinsi/Kabupaten/Kota, dan lain-lain. Lalu
berbondong-bondonglah para sarjana dan diploma bahkan lulusan SMK untuk mencoba peruntungan
mereka. Tulisan ini mencoba membedah, mengapa CPNS sedemikian populer.
Darimana kepopuleran tersebut? Bagaimana pemikiran PNS merasuk ke
generasi masa kini?
Mengapa PNS populer?
Abdi Negara |
Karena PNS adalah pekerjaan terhormat
dan bergengsi. Di mata masyarakat umum, menjadi PNS adalah pencapaian
tertinggi dalam karier. Mengangkat harkat dan derajat keluarga. Kemudian
menjadikan keluarga dan keturunannya disegani. Lebih dari itu, menjadi
PNS artinya memiliki penghasilan yang bagus. Masa depan yang cerah dan
kemungkinan keturunan yang disegani. Wow dahsyat. Tapi apa benar seperti
itu? Apa benar penghasilan para PNS itu bagus? Entahlah. Supaya diskusi
ini menjadi menarik tidak ada salahnya para PNS memberi jawaban.
Darimana kepopuleran tersebut?
Secara historis, kepopuleran tersebut
berasal dari kolonialisme Belanda. Menjadi pegawai VOC adalah kebanggaan
luar biasa pada tahun 1800-an. Berpakaian seragam dan menjadi pemimpin
untuk pribumi. Berpendidikan hebat dan punya pengaruh kuat pada
masyarakat. Siapa yang tidak ingin seperti itu? Para pemuda inlander
sudah barang tentu menginkan hidup parlente dan kebarat-baratan. Seperti
londo-londo itu! Hebatnya, 210 tahun sejak itu, menjadi
pegawai pemerintahan tetaplah menjadi impian banyak orang Indonesia.
Super sekali -mengutip Mario Teguh-
Bagaimana kepopuleran PNS merasuk ke generasi masa kini?
Ah, itulah, pertanyaan ini sulit
dijawab. Banyak alasannya. Tetapi saya menduga, era Orde Barulah yang
pelopornya. Saat struktur birokrasi disempurnakan di bawah kendali para
teknokrat. Orang-orang pintar lulusan luar negeri yang dipakai Pak Harto
untuk membangun sistem. Mereka membuat citra yang eksklusif tentang
pejabat-pejabat pemerintahan kita. Entah pegawai pemda maupun pemerintah
pusat. Entah kementrian (dulu departemen) maupun lembaga non
kementrian. Segera saja, kelompok-kelompok elit terbentuk. Entah karena
ikatan suku (PNS asal minang, batak, bali). Ikatan agama (islam,
kristen, hindu). Ikatan angkatan (sekolah kedinasan, almamater
universitas) dan sebagainya.
Lalu secara sadar tidak sadar,
keluarga-keluarga PNS ini mendoktrin anak-cucu dan tetangganya untuk
mengikuti jejak mereka. Menjadi PNS. Kata-kata saktinya seperti ini,’Udahlah, jadi PNS aja. Kerja di swasta juga entar di PHK. PNS kan gak pernah di-PHK.‘ Sudah barang tentu kalimat sakti ini, kalau diulang-ulang akan menjadi kebenaran universal.
Lalu opini itu lambat-laun menjadi fakta. Luar biasa -meminjam tagline Andrie Wongso-
Efisiensi PNS dan merger kementrian
Tapi benarkah menjadi PNS adalah
segala-galanya? Benarkah menjadi PNS artinya masa depan cerah? Mungkin
ada benarnya juga. Tapi saya benar-benar kuatir. Bahwa apa yang kita
yakini itu menjadi sesuatu yang khianat. Bagaimana bisa? Untuk sebuah
komparasi saja, sebelum Anda meneruskan risalah saya ini, ada baiknya
Anda membaca tulisan dari mantan Wapres kita Pak Jusuf Kalla di sini.
Kisah unik ini bermula saat Gus Dur
menutup Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Siapa yang tahu
masa depan? para PNS kedua departemen itu dibuat ketar-ketir. Bagaimana
tidak? Mimpi tentang masa depan indah menjadi lenyap. Satu tahun setelah
kejadian itu, akhirnya kita tahu. Departemen Penerangan berfusi pada
Departemen Komunikasi. Departemen Sosial masih tetap ada. Syukurlah.
Tapi ide tentang efisiensi pegawai
negeri dan kementrian yang menaunginya tak pernah mati. Para ahli
manajemen dan guru besar universitas yang progresif sudah memikirkan
hal-hal itu. Entah kapan akan diwujudnyatakan. Namun ide besar tentang
efisiensi pegawai pemerintahan akan terus hadir. Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara banyak terpakai oleh belanja pegawai. Sesuatu yang perlu
kita kritisi. Mengingat produktivitas dan kompetensi PNS yang belum
memadai. (Pengecualian untuk Kementrian Keuangan)
IT sebagai jawaban
Baiklah ini bukan sebuah tulisan yang
konvergen, dimana ada kesimpulan di akhir tulisan. Biarkan saja menjadi
divergen, dengan banyak kemungkinan. Hanya sekedar mengingatkan, bahwa
dengan kemungkinan IT yang semakin baik dan komplek, kebutuhan akan
manusia akan berkurang. Para pegawai kelurahan dan kecamatan yang banyak
itu, bagus juga kalau dikurangi 8-10 orang. Hehehe..
Tapi tenang itu masih lama, 50 tahun
lagi. Jadi sekarang sebaiknya kita daftar PNS saja. Biarkan saja, yang
diterima 100 yang daftar 10.000 tidak apa-apa. Kartu kuning capek-capek
antri atau SKCK berharga Rp 20.000 di Polsek. Cingcai-lah.
Untuk itu, secara politis, kita harus
berterimakasih pada Bapak SBY yang membuka anggaran penerimaan PNS
menjelang tahun 2014. Sungguh sebuah strategi yang menarik.
Tentang motivasi dan niat luhur mengabdi
kepada negara, ah sudahlah, itu bahasan yang lain. Yang jelas kita
tidak usah munafiklah, menjadi PNS adalah langkah realistis. Dapet ya
syukur, gak dapet ya sudah, nasib. Hahaha..
sumber http://birokrasi.kompasiana.com/2013/09/08/serba-serbi-cpns--589963.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarlah yang sopan agar anda di hargai..