Minggu, 08 September 2013

Serba-serbi CPNS..

Pekan-pekan ke depan, kita akan dihiasi dengan lowongan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) yang bertebaran. Ada dari Kementrian Keuangan, Kementrian Sosial, BPS, Pemda Provinsi/Kabupaten/Kota, dan lain-lain. Lalu berbondong-bondonglah para sarjana dan diploma bahkan lulusan SMK untuk mencoba peruntungan mereka. Tulisan ini mencoba membedah, mengapa CPNS sedemikian populer. Darimana kepopuleran tersebut? Bagaimana pemikiran PNS merasuk ke generasi masa kini?

Mengapa PNS populer?

Abdi Negara
Karena PNS adalah pekerjaan terhormat dan bergengsi. Di mata masyarakat umum, menjadi PNS adalah pencapaian tertinggi dalam karier. Mengangkat harkat dan derajat keluarga. Kemudian menjadikan keluarga dan keturunannya disegani. Lebih dari itu, menjadi PNS artinya memiliki penghasilan yang bagus. Masa depan yang cerah dan kemungkinan keturunan yang disegani. Wow dahsyat. Tapi apa benar seperti itu? Apa benar penghasilan para PNS itu bagus? Entahlah. Supaya diskusi ini menjadi menarik tidak ada salahnya para PNS memberi jawaban.

Darimana kepopuleran tersebut?

Secara historis, kepopuleran tersebut berasal dari kolonialisme Belanda. Menjadi pegawai VOC adalah kebanggaan luar biasa pada tahun 1800-an. Berpakaian seragam dan menjadi pemimpin untuk pribumi. Berpendidikan hebat dan punya pengaruh kuat pada masyarakat. Siapa yang tidak ingin seperti itu? Para pemuda inlander sudah barang tentu menginkan hidup parlente dan kebarat-baratan. Seperti londo-londo itu! Hebatnya, 210 tahun sejak itu, menjadi pegawai pemerintahan tetaplah menjadi impian banyak orang Indonesia. Super sekali -mengutip Mario Teguh-

Bagaimana kepopuleran PNS merasuk ke generasi masa kini?

Ah, itulah, pertanyaan ini sulit dijawab. Banyak alasannya.  Tetapi saya menduga, era Orde Barulah yang pelopornya. Saat struktur birokrasi disempurnakan di bawah kendali para teknokrat. Orang-orang pintar lulusan luar negeri yang dipakai Pak Harto untuk membangun sistem. Mereka membuat citra yang eksklusif tentang pejabat-pejabat pemerintahan kita. Entah pegawai pemda maupun pemerintah pusat. Entah kementrian (dulu departemen) maupun lembaga non kementrian. Segera saja, kelompok-kelompok elit terbentuk. Entah karena ikatan suku (PNS asal minang, batak, bali). Ikatan agama (islam, kristen, hindu). Ikatan angkatan (sekolah kedinasan, almamater universitas) dan sebagainya.
Lalu secara sadar tidak sadar, keluarga-keluarga PNS ini mendoktrin anak-cucu dan tetangganya untuk mengikuti jejak mereka. Menjadi PNS. Kata-kata saktinya seperti ini,’Udahlah, jadi PNS aja. Kerja di swasta juga entar di PHK. PNS kan gak pernah di-PHK.‘ Sudah barang tentu kalimat sakti ini, kalau diulang-ulang akan menjadi kebenaran universal.
Lalu opini itu lambat-laun menjadi fakta. Luar biasa -meminjam tagline Andrie Wongso-

Efisiensi PNS dan merger kementrian

Tapi benarkah menjadi PNS adalah segala-galanya? Benarkah menjadi PNS artinya masa depan cerah? Mungkin ada benarnya juga. Tapi saya benar-benar kuatir. Bahwa apa yang kita yakini itu menjadi sesuatu yang khianat. Bagaimana bisa? Untuk sebuah komparasi saja, sebelum Anda meneruskan risalah saya ini, ada baiknya Anda membaca tulisan dari mantan Wapres kita Pak Jusuf Kalla di sini.
Kisah unik ini bermula saat Gus Dur menutup Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Siapa yang tahu masa depan? para PNS kedua departemen itu dibuat ketar-ketir. Bagaimana tidak? Mimpi tentang masa depan indah menjadi lenyap. Satu tahun setelah kejadian itu, akhirnya kita tahu. Departemen Penerangan berfusi pada Departemen Komunikasi. Departemen Sosial masih tetap ada. Syukurlah.
Tapi ide tentang efisiensi pegawai negeri dan kementrian yang menaunginya tak pernah mati. Para ahli manajemen dan guru besar universitas yang progresif sudah memikirkan hal-hal itu. Entah kapan akan diwujudnyatakan. Namun ide besar tentang efisiensi pegawai pemerintahan akan terus hadir. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara banyak terpakai oleh belanja pegawai. Sesuatu yang perlu kita kritisi. Mengingat produktivitas dan kompetensi PNS yang belum memadai. (Pengecualian untuk Kementrian Keuangan)

IT sebagai jawaban

Baiklah ini bukan sebuah tulisan yang konvergen, dimana ada kesimpulan di akhir tulisan. Biarkan saja menjadi divergen, dengan banyak kemungkinan. Hanya sekedar mengingatkan, bahwa dengan kemungkinan IT yang semakin baik dan komplek, kebutuhan akan manusia akan berkurang. Para pegawai kelurahan dan kecamatan yang banyak itu, bagus juga kalau dikurangi 8-10 orang. Hehehe..
Tapi tenang itu masih lama, 50 tahun lagi. Jadi sekarang sebaiknya kita daftar PNS saja. Biarkan saja, yang diterima 100 yang daftar 10.000 tidak apa-apa. Kartu kuning capek-capek antri atau SKCK berharga Rp 20.000 di Polsek. Cingcai-lah.
Untuk itu, secara politis, kita harus berterimakasih pada Bapak SBY yang membuka anggaran penerimaan PNS menjelang tahun 2014. Sungguh sebuah strategi yang menarik.
Tentang motivasi dan niat luhur mengabdi kepada negara, ah sudahlah, itu bahasan yang lain. Yang jelas kita tidak usah munafiklah, menjadi PNS adalah langkah realistis. Dapet ya syukur, gak dapet ya sudah, nasib. Hahaha..

sumber http://birokrasi.kompasiana.com/2013/09/08/serba-serbi-cpns--589963.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah yang sopan agar anda di hargai..